Hatim dan Mason terutama mati-matian berusaha menghindari perangkap pendekatan linguistik seperti milik Catford, pendekatan-pendekatan yang lebih didasarkan pada akibat-akibat peralihan dari induksi menjadi "kaidah" deduksi ("kategori") ketimbang pada peralihan itu sendiri ("pengalaman"). Tetapi teori-teori mereka pun semakin menguat menjadi pola-pola umum kaku yang tak banyak atau sama sekali tidak memberikan ruang bagi keluwesan situasional penerjemah. Bahkan, dalam pengertian tertentu, pola-pola itu memang harus demikian. Beginilah bentuk peralihan tersebut: dari yang tidak stabil menjadi stabil, dari yang kompleks menjadi sederhana, yang luwes menjadi kaku. Oleh karena itu, ketika hal ini terjadi, sejumlah pengeluaran visual dari peralihan induk si-ke-deduksi sejenis yang berhasil pada Catford, mungkin saja berhasil pula pada Hatim dan Mason-pada paragraf seperti ini misalnya:
Dalam merunut isyarat intertekstual pada teks-persiapan (pre-text), bidang semiotis yang dilalui adalah ruang intertekstual. Di sinilah para pengguna teks menilai status semiotis suatu referensi intertekstual. Menurut saya, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut mungkin bisa menjadi dasar penerjemahan in tersemiotis suatu referensi intertekstual:
1. Apa yang menjadi status informasional (informa tional status) suatu referensi dalam interaksi ko munikatif (sifat-sifat khusus dalam suatu bidang, mode, suasana, waktu, tempat, dll.)?
2. Apa yang menjadi status intensional (intentional status) suatu referensi yang dibicarakan sebagai aksi atau tindakan?
3. Apa yang menjadi status semiotis (semiotic status)suatu referensi sebagai sebuah tanda (sign) yang"saling mempengaruhi" dengan tanda-tanda lain?
Ketiga pertanyaan tadi bisa diuraikan secara berbeda. Pertanyaan pertama berkaitan dengan "bentuk" isya rat intertekstual; pertanyaan kedua berkaitan dengan "fungsi" isyarat; dan pertanyaan ketiga menilai prioritas isyarat yang satu atas isyarat yang lain dalam menghasilkan tanda. Namun, keputusan terakhir terletak pada kesatuan tanda sebagai suatu konsepsi semiotis: apakah penerjemah akan menyampaikan bentuk, isi atau keduanya, dan dalam proporsi seperti apa? Dengan kata lain, tujuan yang paling mendasar ada lah mengevaluasi aspek-aspek mana dalam suatu tan da yang harus dipertahankan dan aspek mana yang harus dibuang dalam kegiatan memindahkan tanda tersebut ke dalam bahasa lain.
Sebuah hirarki preferensi telah dikembangkan, yang dalam prakteknya tampak memutarbalikkan urutan ketiga pertanyaan di atas: tanggung jawab utama seorang penerjemah terletak pada referensi intertekstual sebagai konsepsi semiotis, yang sesuai definisinya itu melibatkan kesengajaan (intentionality). Prioritas selanjutnya baru diberikan kepada status informasional, denotatif... Dan, seperti yang sudah dinyatakan di atas, tujuan (intention) mungkin dapat dirasakan dengan memadai hanya di dalam interaksi secara menyeluruh. (Hatim dan Mason 1190: 134-5).
Intinya, paragraf ini menggambarkan proses penerjemahan dari dalam benak si penerjemah-segala macam penerjemah, barangkali termasuk pembaca. Hatim dan Mason menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan tentang teks ini perlu diajukan penerjemah selama penerjemahannya: apa yang tengah dicoba ungkapkan oleh teks ini, apa yang ingin dicapai dengan mengungkapkan hal ini, dan bagaimana kesesuaian perilaku sosial itu dengan bidang aktivitas sosial yang lebih luas dan bermanfaat?
Anda bisa lihat, hal ini sudah merupakan reduksi terhadap pilihan-pilihan yang dimiliki penerjemah. Ada ratusan, barangkali ribuan pertanyaan perihal sebuah teks yang mungkin diajukan penerjemah sembari menerjemahkan, dan ini baru tiga pertanyaan yang cukup penting-bisa ditambahkan, cukup penting dalam konteks penerjemahan tertentu. (Saat menerjemahkan sebuah karangan Virgil dalam kuliah bahasa Latin untuk memperlihatkan bahwa Anda benar-benar memahami tata bahasa Latin, Anda mungkin tidak perlu melontarkan satu pun dari ketiga pertanyaan tadi, yang menurut Hatim dan Mason "akan" selalu ditanyakan "penerjemah".)
Komentar
Posting Komentar